Menjadi seorang muslim belum mendapat
jaminan dari Allah, yang akan Allah bela. Menjadi orang Islam semata-mata belum
ada jaminan dari Allah akan diampunkan dosanya. Menjadi orang Islam saja belum
ada jaminan dari Allah bahwa amal ibadahnya akan diterima. Menjadi orang Islam
saja belum ada jaminan bahwa Allah akan memberi bantuan dariNya. Karena menjadi
seorang muslim atau seorang Islam itu mudah. Apabila sudah mengucapkan dua
kalimat syahadat, maka tidak boleh dianggap dia itu seorang kafir. Lebih-lebih
lagi seseorang itu sudah shalat, berpuasa, naik haji, kita tidak boleh menuduh
orang itu kafir. Dia termasuk dalam golongan Islam tetapi belum tentu ia
seorang bertaqwa.
Setelah menjadi orang bertaqwa baru ada
jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia dan di Akhirat. Bila jadi orang
bertaqwa barulah dosa diampunkan, barulah amal ibadah ini diterima, barulah
mendapat pimpinan dari Allah. Secara langsung Allah menjadi pemimpinnya. Bila
menjadi orang bertaqwa pintu rezeki akan terbuka, tidak tahu dari mana datang
dan sumbernya. Bila menjadi orang yang bertaqwa Allah mudahkan kerja-kerjanya.
Bila buat kerja sedikit, hasilnya banyak. Kalau buat banyak, lebih banyaklah
yang akan diperoleh. Hal inilah yang dijelaskan oleh Allah melalui firmanNya :
“Barang siapa
yang bertaqwa pada Allah, Allah beri jalan keluar dari kesusahan dan akan beri
rezeki sekira-kira tidak terduga-duga”
“Barang siapa
yang bertaqwa pada Allah, Allah akan permudah segala urusannya” [Q.S. At-Talaq : 4]
“Allah menjadi
pemimpin (pembela) orang yang bertaqwa” [Q.S. Al Jasiah : 19]
Dalam ayat yang lain :
“Sesungguhnya
amal ibadah yang diterima dari orang yang bertaqwa”
“Dan jika ada
penduduk sebuah kampung itu beriman dan bertaqwa, maka akan Allah bukakan
berkat dari pintu langit dan bumi” [Q.S. Al-A’raf : 96]
Allah akan buka pintu berkat dari langit
dan bumi, maka sudah tentu kehidupan orang bertaqwa akan aman damai, berkasih
sayang, mesra, selamat sejahtera, tidak ada gangguan, penuh harmoni dan indah,
di dunia sudah dapat Syurga dan pastilah di Akhirat akan dapat Syurga yang
kekal abadi.
Banyak lagi ayat-ayat yang memberitahu
bahwa setelah seseorang atau satu bangsa itu menjadi orang yang bertaqwa,
barulah dapat pembelaan dari Allah. Kalau hanya sekedar Islam tidak ada jaminan
dan pembelaan dari Allah di dunia maupun di Akhirat. Inilah yang terjadi kepada
seluruh umat Islam di dunia hari ini. Rata-rata umat Islam sebagai seorang
muslim tetapi tidak menjadi orang yang bertaqwa. Sebab itu tidak ada pembelaan
dari Allah. Bila tidak ada pembelaan dari Allah, coba kita lihat apa yang
terjadi. Hidup tidak bersatu padu, musuh menekan, menghina, menderita, menjadi
hamba orang, susah dan tersingkir di mana-mana. Jumlah banyak tapi tidak
berguna. Ramai tapi tidak berguna laksana buih di laut.
Jadi sekesar menjadi seorang Islam saja
jangan berbangga sebab masih belum ada jaminan dan pembelaan dari Allah. Oleh
karena itu kita mesti menjadi orang bertaqwa barulah jaminan dan pembelaan akan
diperoleh baik di dunia maupun di Akhirat. Oleh itu kita mesti berusaha
bersungguh-sungguh dalam hidup ini untuk memiliki sifat taqwa. Lebih-lebih lagi
bagi mereka yang bercita-cita membangunkan Islam, perlu berusaha menjadikan
diri mereka orang yang bertaqwa.
Orang Islam yang mempunyai cita-cita
perjuangan bukan saja ingin memperbaiki dirinya tetapi juga ingin membaiki
masyarakat. Untuk itu, dia mesti faham bagaimana memperbaiki dirinya sendiri
dan bagaimana untuk memperbaiki masyarakat.
Untuk memperbaiki diri agar menjadi
orang yang soleh atau orang yang bertaqwa, 8 syarat perlu ditempuh :
1. Dapat
Petunjuk dari Allah
Di sinilah modal utama ke arah taqwa,
yaitu Allah beri hidayah dengan cara mengetuk pintu hatinya. Dia senang dengan
Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk Islam.
Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa terhibur walaupun dia tidak tahu
apa itu Islam. Firman Allah :
“Barang siapa
yang Allah kehendaki untuk diberi-Nya petunjuk, maka dilapangkan hatinya untuk
menerima Islam”
[Q.S. Al An’am : 125]
Jadi kalau seseornag itu Allah buka
pintu hatinya hingga dia sayang, suka, minat, terhibur dan senang dengan Islam,
maka itulah anak kunci yang pertama untuk dia bertindak memperbaiki diri.
Tetapi kalau hati sudah tertutup, hidayah sudah tidak dapat, rasa senang hati
dengan Islam sudah tidak ada, walau pakar Islam, hafiz Al Qur’an, hafiz ribuan
hadits namun tidak akan dapat memperbaiki diri. Kenapa ? Dorongan tidak ada.
Rasa minat, cinta dan suka pada Islam, itulah dorongannya. Ibarat orang yang
cinta dengan isteri, apa saja kehendak isterinya akan dituruti dan dia akan
berkorban habis-habisan, hatta nyawa sekalipun.
2. Faham
Tentang Islam
Faham tentang Islam. Bukan diberitahu
tenatng Islam. Bukan diajar tentang Islam. Inilah yang dimaksud oleh sabda
Rasulullah SAW :
“Barang siapa
yang Allah hendak jadikan dia orang baik, maka dia akan diberi faham tentang
Islam”
Kalau begitu sekiranya sekedar diajar
atau diberitahu, tidak ada jaminan seseorang itu menjadi baik. Tetapi kalau
diberi “faham” itulah tanda seseorang itu akan membuat perubahan. Sebab bila
dikatakan “diberi faham”, akan jatuh ke hati. Tetapi kalau hanya “diberitahu”
hanya diakal saja. Akhirnya jadi mental exercise. Pintar mengatakan tentang
Islam, hanya berputar di akal tidak di hati. Bila hanya bertapak di akal,
ceramahnya hebat, dapat menulis dsb. Tetapi kalau tidak bertapak di hati, bukan
menjadi keyakinan hidupnya. Artinya tidak menghayati ilmunya. Kalau begitu ilmu
yang ada di otaknya tidak mendorong untuk memperbaiki diri. Tidak mendorong
untuk memperjuangkannya. Ilmu itu tidak mendorong untuk menuntun hidupnya.
Tetapi kalau sampai di hati barulah akan berkesan pada dirinya.
Sebab itulah orang alim banyak tetapi
orang “fakih” sedikit. Yang diajar dan diberitahu ilmu Islam itu banyak tetapi
yang menjiwai tentang Islam itu tidak banyak. Seseorang yang sekedar diberitahu
dan diajar tentang Islam, belum tentu akan terdorong untuk memperbaiki diri.
Akalnya terisi dengan ilmu Islam, tapi kalau ilmu itu tidak berasas dalam hati,
dorongan untuk memperbaiki diri tidak ada. Sedangkan kalau ilmu disertai
kefahaman, maknanya seseorang itu tahu dari hati atau jiwa, bukan sekedar
dengan akal, dan ini akan mendorongnya memperbaiki diri.
Namun perlu diingat, kalau hati terbuka
untuk menerima Islam, tetapi ilmunya tidak ada, maka seseorang itu tidak akan
dapat berbuat. Beramal tanpa ilmu, tertolak. Ada ilmu tetapi tidak diamalkan, laksana
pohon tidak berbuah.
Jadi kefahaman tentang Islam ini perlu
ada. Memahami Islam secara syumul, secara lengkap, bukannya secara sebagian-sebagian.
Memahami Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Memahami Islam
sebagai cara hidup, atau dengan kata-kata lain, memahami Islam sebagai agama
akidah, ajaran ibadah, dakwah, ukhuwah, jihad, jamaah, amrun bil ma’ruf wanahyu
a’nil mungkar, tarbiah, pendidikan, ekonomi, daulah Islamiah, antara bangsa dan
hinggalah ke alam sejagat.
Untuk mendapatkan kefahaman, mesti ada
jalan, ada usaha dan ada caranya. Tidak dapat faham begitu saja. Mesti
melahirkan sebab, seperti dengan belajar, membaca, menelaah, muzakarah,
bertanya dan sebagainya. Jadi lapang dada menerima Islam saja tidak cukup.
Mesti disertai kefahaman, kemudian berbuat dan bertindak berdasarkan kefahaman
itu.
Kalau sesuatu amalan itu dibuat atas
dasar tahu tanpa disertai kefahaman, jadilah amalan itu sekedar betul lahirnya
tapi batinnya rosak. Misalnya, dia tahu tentang shalat dan akan melakukan
shalat tapi ruh shalat tidak ada. Bila roh shalat tidak ada, hakikatnya dia
belum mengerjakan shalat. Begitu juga orang yang sekedar tahu ilmu berjuang dan
dapat berjuang; lahirnya saja bagus, tapi hatinya sudah rusak. Roh berjuang
tidak ada. Sedangkan kalau diberi ilmu puasa saja dan memang kemampuan pun ada,
maka ia akan berpuasa, tapi yang berpuasa hanyalah tangannya, mulutnya, matanya
dan perutnya, sedangkan rohnya, hatinya dan nafsunya tidak berpuasa.
Sebab “mengetahui” itu hanya terhadap
benda-benda lahir yang dapat dinilai oleh mata kepala. Tetapi “faham” itu lebih
mendalam yaitu hati dan rohani sama-sama merasa, bukan akal semata-mata.
Begitu juga, tidak cukup membangunkan
Islam dengan cara semangat-semangat, slogan-slogan, pekik sana
sini, demonstrasi sana
sini, kutuk orang ini itu. Itu bukan faham namanya. Jangankan faham,
kadang-kadang ilmu pun belum ada. Ini lebih rusak lagi. Beraninya seperti
lembu. Lembu, kalau berani, tembok pun ditanduknya. Itu bodoh namanya.
Beranikah itu namanya ? Laksana air bah, kalau tidak ada saluran yang betul,
habislah dihanyutkannya pohon kelapa orang, kebun orang, rumah orang dan
sebagainya. Tapi kalau ada saluran yang betul, air bah itu dapat dialirkan ke
sungai. Ada
parit, dapat tangkap ikan, dapat main sampan. Minimal kalau berani atas dasar
ilmu tapi yang yang paling baik atas dasar faham. Kalau tidak faham, mesti
tanya, belajar, muzakarah, berbincang, banyak menelaah dan lain-lain.
3. Yakin
Apa saja ilmu yang kita ketahui dan
fahami perlu kita yakini terutamanya dalam soal-soal aqidah; keyakinan kepada
Allah, kepada Rasul, kepada malaikat dan sebagainya. Keyakinan itu mesti
kental, jangan dicelahi oleh syak, waham atau
zan. Jangan jadikan ilmu Islam itu
seperti ilmu-ilmu sekuler yang lain. Umpamanya sewaktu kita belajar ilmu
ideologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu alam. Kadang-kadang hati kecil
kita bertanya “Iya kah ? Betulkah ?” sudah belajar teori ekonomi, tapi hati
kecil pula berkata “Eh, kalau aku buat ini, boleh dapat untungkah ?”
4. Melaksanakan
Setelah kita mengetahui, faham dan yakin
dengan ilmu-ilmu Islam, kita mesti bertindak dan mengamalkannya. Perintah
fardhu dan sunnat mesti dilaksanakan; perintah ahram dan makruh mesti
ditinggalkan. Perintah buat itu baik yang fardhu ain, maupun yang fardhu
kifayah. Manakala yang sunat kita laksanakan sejauh yang termampu. Kalau boleh,
yang harus pun dijadikan ibadah dengan menempuh lima syarat.
Buah ilmu itulah amalnya. Jadi sekiranya
ilmu itu tidak diamalkan, jadilah ilmu yang tidak berbuah. Pepatah Arab ada
berkata :”Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tidak berbuah”.
Orang yang tidak menanam pohon durian
tidak dapat makan buah durian. Orang yang memiliki pohon durian, tapi ketika
musim durian tidak berbuah, maka senasib dia dengan orang yang tidak memiliki
pohon durian. Orang yang tidak memiliki pohon durian, tidak makan buah durian
itu sudah sewajarnya. Tapi orang yang memiliki pohon durian tapi tidak makan
buah durian karena pohon duriannya tidak berbuah, ini lebih malang nasibnya.
Begitulah kita senang saja beramal tapi
malas hendak menuntut ilmu, maka banyaklah kesalahan yang dibuat. Amalannya
tidak disuluh dengan ilmu, maka akan tertolak amalannya itu. Bila ada ilmu
tidak diamalkan maka ibarat pohon tidak berbuah. Bahkan dalam Matan Zubat
dikatakan :
“Orang yang
berilmu tapi tidak beramal akan masuk ke Neraka 500 tahun lebih dahulu dari
penyembah berhala”
Oleh itu jangan jadikan ilmu Islam
sebagai “mental exercise” atau riadhah aqidah saja. Kalau kita belajar ilmu
ekonomi misalnya, tidak berniaga pun tidak mengapa. Kita belajar ilmu politik,
tidak berpolitik pun tidak apa. Tetapi ilmu Islam mesti dilaksanakan.
Jadikanlah ilmu yang ada pada kita itu, yang telah kita fahami menjadi panduan
hidup dalam semua hal. Dalam menegakkan akhlak, masyarakat, perjuangan,
membangun jemaah, berumah tangga, dalam ekonomi, pendidikan, mencari rezeki dan
sebagainya. Hingga benar-benar menjaid panduan hidup, agar semua tindak tanduk
kita jadi ibadah dan diterima oleh Allah sebagai pahala.
5. Bermujahadah
Walaupun hati sudah terbuka, rindu dan
suka dengan Islam, sudah faham Islam dan yakin dengan yang difahami itu, tapi
bila hendak bertindak, masya-Allah, rupanya bukan musuh lahir, seperti Yahudi
dan Nasrani yang menghalang, tapi musuh dalam diri kita, yaitu nafsu. Nafsu
itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi sesorang
kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata-kata yang lain, nafsu adalah
highway untuk syaitan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin
luaslah highway syaitan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan
syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana
yang digambarkan oleh Allah sangat jahat.
“Sesungguhnya
hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan” [Q.S. Yusuf : 53]
Dan ini dikuatkan lagi oleh sabda
Rasulullah SAW :
“Musuh yang
paling memusuhi kamu adalah nafsu yang ada di antara dua lambungmu”.
Nafsu itulah yang menjadi penghalang
pertama dan utama, kemudian barulah syaitan dan golongan-golongan yang lain.
Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada memerangi Yahudi dan Nasrani atau
orang kafir. Sebab berperang dengan orang kafir cuma sekali-sekali.
Nafsulah penghalang yang paling jahat.
Kenapa ? Kalaulah musuh dalam selimut, itu mudah dan dapat kita hadapi. Tetapi
nafsu adalah bagian dari badan kita. Tidak sempurna diri kita jikalau tidak ada
nafsu. Ini yang disebut musuh dalam diri. Sebagian diri kita, memusuhi kita. Ia
adalah jizmullatif, tubuh yang halus yang
tidak dapat dilihat dengam mata kepala, hanya dapat dirasa oleh mata otak
atau mata hati. Oleh itu tidak dapat kita buang. Sekiranya dibuang kita pasti
mati.
Nafsu adalah penghalang yang besar.
Kalau hendak shalat bukan mudah untuk mujahadah. Akhirnya terlambat shalat
subuh. Sipa yang membisikkan kepada kita ? Itulah nafsu. Tidak mudah hendak
berjuang dan berkorban. Tidak mudah hendak sabar apabila berhadapan dengan
ujian. Tidak mudah sebab nafsu tidak mau. Begitu juga hendak memberi maaf orang
yang berbuat salah kepada kita ? Kita rasa terhina hendak memaafkan orang yang
bersalah kepada kita. Lebih-lebih lagi kita yang bersalah, hendak minta maaf
lebih sukar lagi. Terasa tergugat ego kita. Lebih-lebih lagi apabila ada
jabatan dan pengaruh. Tidak mudah untuk ikut syariat, jika nafsu mengatakan jangan.
Sebab itu barang siapa yang berjaya melawan hawa nafsu dia dianggap pahlawan.
Dianggap orang berani dan luar biasa. Sebab itu ada hadits yang mengatakan :
“Tidak dianggap
seseorang itu berani bila ia dapat mengalahkan musuhnya, tetapi dianggap
berani, jika seseorang itu dapat melawan hawa nafsunya.”
Bukannya seperti yang terjadi hari ini,
gelar “Tokoh” atau “pahlawan” yang dikaruniakan kepada seseorang, bila kita
tinjauh kehidupan mereka, kebanyakan mereka yang sudah dikalahkan oleh hawa
nafsu. Itulah pahlawan yang palsu. Pahlawan yang sebenarnya ialah orang yang
dapat mengalahkan hawa nafsunya. Inilah yang dikatakan pejuang yang hakiki.
Selagi hawa nafsu tidak dapat diperangi, selama itu seseorang itu tidak akan
tertuju kepada Allah. Tidak akan dapat benar-benar berbakti kepada Allah. Tidak
akan jatuh cinta kepada Allah. Tidak akan dapat memberi ketaatan yang
sesungguhnya kepada Allah. Kalau nafsu tidak diperangi, tidak akan dapat hidup
dalam kebenaran. Hidup dalam pimpinan Allah. Firman Allah :
“Mereka yang
berjuang untuk melawan hawa nafsu karena hendak menempuh jalan Kmai,
sesungguhnya Kami akan tunjuki jalan Kami. Sesungguhnya Allah itu beserta
dengan orang yang buat baik.”
Ini jaminan dari Allah. Siapa yang
melawan hawa nafsu, Allah akan tunjukkan satu jalan hingga diberi kemenangan,
diberi bantuan dan tertuju ke jalan yang sebenarnya. Inilah rahasia untuk
mendapatkan pembelaan dari Allah.
Artinya mereka mendapatkan pembelaan
dari Allah sejak di dunia. Jadi sesiapa yang sanggup melawan hawa nafsu, dia
adalah rijalullah (orang Allah, keluarga Allah, kepunyaan Allah, tentara
Allah), siapa yang menjadi kepunyaan Allah atau tentara Allah, dia akan dibantu
oleh Allah. Tetapi selagi belum menjadi tentara Allah, sebaliknya menjadi
tentara manusia atau tentara syaitan Allah akan biarkan. Kalau diberi
kemenangan atas dasar kuat, bukan atas dasar bantuan. Manakala yang lemah akan
diberi kekalahan.
Jadi seseorang itu mesti sanggup melawan
hawa nafsu. Kalau tidak banyak ajaran Islam yang terabai, banyak perintah Allah
dilalaikan. Bila tidak dapat melawan hawa nafsu, banyak larangan Allah yang
akan dibuat. Jadi hanya dengan melakukan mujahadatunnafsi, barulah ajaran Islam
itu dapat kita amalkan sungguh-sungguh dan barulah maksiat lahir dan batin
dapat kita tinggalkan, karena nafsu yang sangat menghalang itu sudah tidak ada
lagi. Nafsu itu sudah kita didik, sudah kita kalahkan, dan sudah menjadi
tawanan kita.
6. Istiqamah
Beramal
Beramal jangan bermusim, jangan ada
turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus beribadah. Kalau sudah
berukhuwah, terus berukhuwah. Kalau tinggalkan maksiat, terus tinggalkan.
Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau berjuang, berdakwah dan
sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus. Jangan kadang-kadang beribadah,
kadang-kadang tidak; kadang-kadang berdakwah, kadang-kadang tidak. Jadi mesti
mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara istiqamah maupun perintah
larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga. Dengan kata lain, beramal
hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus menerus. Ini yang dimaksudkan
oleh Rasulullah SAW :
“Sebaik-baik
amalan itu, yang dibuat secara istiqamah sekalipun sedikit”.
Apa yang dimaksudkan sedikit ? Sekiranya
tidak diuraikan, nanti ada mereka yang ambil kesempatan dengan berkata: “yang
penting istiqamah, tetap Allah terima walaupun sedikit. Kalau begitu saya akan
shalat saja sampai mati. Puasa, naik haji, berkorban dan sebagainya tak perlu
dibuat”. Sebenarnya sedikit yang dimaksudkan oleh Rasulullah ialah
amalan-amalan yang fardhu sudah ditunaikan. Yang fardhu ain selesai, kemudian
ditambah pula dengan amalan yang sunat. Istiqamah amalan yang sunat, amalan
wajib memang tidak dapat ditinggalkan.
Amalan yang istiqamah akan membuat kesan
pada roh atau hati seseorang. Laksana titisan air, walaupun kecil dan lembut
tapi jika ia meniti sepanjang masa, lama-kelamaan batu akan lekuk. Sebaliknya,
air banjir yang datang setahun sekali atau dua tiga tahun sekali, walaupun
besar tetapi tidak dapat melekukkan batu. Tegasnya, amalan sunat yang istiqamah
sangat memberi kesan pada hati. Kesannya dapat dilihat pada gerak-gerik,
membuahkan akhlak yang mulia. Sebaliknya amalan sunat yang dibuat walaupun
banyak tetapi tidak secara istiqamah, tidak memberi bekas pada jiwa.
7. Ada
Pemimpin yang Memimpin
Dapat memimpin baik di bidang ilmu, akal
atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal hingga hidup
kita ini dapat tertuju kepada Allah.
Dalam Islam, pemimpin yang dapat
memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid.
Asalnya dari perkataan ‘mursyidun’ maknanya orang yang memimpin. Setiap orang
wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau
tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.
Orang yang memimpin (mursyidun) tidak
sama dengan mua’llim. Juga tidak sama dengan ustaz dan guru. Sebab mu’alim itu
hanya memberi ilmu. Mereka hanya memandang luar. Tetapi mursyid yang dapat
memimpin. Allah memberi padanya ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir dan batin. Bukan saja dia
dapat memimpin akal, tetapi juga hati (roh) juga dipimpinnya. Walaupun mursyid
itu seorang yang tidak hafal quran dan hadis. Sebab itu sebagaimana hebat alim
seseorang itu, dia mesti punya pemimpin.
Memang guru, pemimpin itu susah dicari.
Apalagi di jaman sekarang yang sudah jauh dari Rasulullah. Orang yang jadi
mursyid hanya dalam hitungan jari saja. Sebab itu mursyid kurang popular dan
jarang disebut dalam kehidupan sehari-hari. Imam Ghazali r.h. berkata:
“Untuk mencari
seorang mursyid, laksana mencari belerang merah”
Begitulah susahnya untuk mencari
mursyid. Sebab itu pimpinan sudah tidak wujud lagi di kalangan umat Islam hari
ini. Maka berjuangpun hanya main-main akal, beribadah sesuka hati, bertindak
sembrono, tidak diukur secara ilmu lagi. Jadi perlu ada guru yang mursyid, yang
dapat memimpin ilmu dan amalan kita, yang memimpin lahir dan batin kita. Guru
mursyid ini menjadi tempat kita merujuk walau dalam hal keci sekalipun.
Tetapi di sinilah banyak yang tidak
faham termasuk alim ulama. Sebagiannya berkata “kalaulah kita sudah berguru ke
satu tempat, jangan lagi berguru di tempat lain”. Ini satu fahaman yang salah.
Sebenarnya guru mursyid yang tidak banyak; seorang saja. Tapi kalau guru sumber
ilmu, lebih banyak lebih baik karena lebih banyak saluran untuk dapat ilmu. Imam
Ghazali r.h. ada 1000 orang gurunya.
Guru pimpinan, tempat rujuk dalam semua
hal hanya seorang saja. Dalam hal apapun mesti dirujuk kepadanya termasuk dalam
hal yang mubah. Walaupun mubah, tetapi untuk dapat berkat mesti bertanya
kepadanya. Lebih-lebih lagi kalau sudah menjadi arahannya wajib ditaati. Setiap
arahannya sudah menjadi wajib arahdi, sebab mentaati pemimpin adalah wajib. Di
sinilah kebanyakan kesalahan pejuang sekarang. Mereka sudah memiliki jemaah,
tetapi bila ada masalah dalam jemaah dia rujuk pada ‘ulama luar jemaah’ atau
dukun.
Jadi setiap orang yang ingin membaiki
dirinya mesti ada mursyid yang akan memimpinnya, sekalipun dia ulama, alim,
hafaz Al Quran dan pakar hadis. Kenapa ? Dalam ajaran Islam ini, ada ilmu yang
datang dari akal, dan ada yang dari hati; ada lahir ada batin; ada yang
tersurat dan ada yang tersirat. Kalau seseorang itu diberi ilmu yang tersurat,
belum tentu dia akan diberi ilmu yang tersirat. Bukan semua muhaddisin akan
diberi ilmu-ilmu hati. Oleh itu, walau ulama pakar sekalipun, mesti ada guru
yang memimpinnya. Di sinilah banyak orang salah faham, terutama para ulama.
Hati mereka berkata, “Saya sudah jadi ulama, alim, sudah mengajar profesor,
sudah menjadi dosen, mengapa perlu pimpinan ? Saya boleh pimpin diri saya sendiri.
Buat apa bersandar kepada orang lain ?” Sebab mereka merasa mereka banyak ilmu
dan dapat pimpin diri sendiri. Lebih-lebih lagi mereka tidak mau dipimpin oleh
guru yang mursyid.
Orang yang boleh memimpin ataupun
mursyid, hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka, yaitu yang mempunyai
basyirah. Bukan sekedar akal saja terbuka. Banyak orang yang akalnya terbuka,
hingga dapat menangkap ilmu, tapi orang yang hatinya terbuka tidak banyak.
Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan dapat memimpin orang
lain. Dia tidak semestinya lebih alim daripada orang yang dipimpinnya. Imam
Hambali umpamanya, dia tidak disebut ahli tasawuf sebab dia tidak mengarang
kitab tasawuf, sebaliknya hanya mengarang kitab ilmu-ilmu lahir. Tetapi yang
sebenarnya dia juga alim ilmu batin (karena semua Imam mahzab itu adalah
mursyid dan pakar tasawuf). Dia tahu dan mengamalkannya. Menurut riwayat, Imam
Hambali selalu merujuk kepada ulama-ulama, menziarahi bisyru al khafi, sering
menziarahi ahli-ahli sufi di ujung negeri Baghdad .
Jadi setiap orang mesti mencari seorang
guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Lahir dan batinnya perlu
diserahkan kepada guru mursyid.
8. Berdoa
Kepada Allah
Usaha kita tidak memberi bekas walaupun
usaha itu diperintahkan oleh Allah. Kita sudah belajar, tetapi ilmu itu
sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha kita membaiki
diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas walaupun kita
disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah. Allah-lah yang
menghitamputihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab itu kita mesti
selalu panjatkan doa kepada Allah agar Allah senantiasa memberikan hidayah dan
taufik kepada kita.
Dapat hidayah itu lebih mudah. Contohnya
dibuka pintu hatinya untuk menerima dan suka kepada Islam. Tetapi belum tentu
dapat taufiq. Taufiq ialah amalannya selaras dengan ilmu atau dengan apa yang
dia mau. Praktikal dengan teorinya sama. Ilmiah dengan amaliahnya sama.
Oleh karena yang muatsir hanyalah Allah,
jadi tujuh hal yang diperkatakan diatas tidak muatsir, walaupun diperintah. Dia
tidak memberi bekas. Sebab itulah mesti bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah.
Bila Allah beri hidayah dan taufiq semua masalah selesai. Tidak ada masalah
yang sulit. Yang besar jadi kecil, yang kecil lebih lagilah jadi terlalu kecil.
Ilmu Islam seperti juga sebagaimana ilmu
dunia juga. Tidak mesti kita belajar ilmu dan apabila diamalkan itu tepat
sebagaimana belajar. Kebanyakannya tidak tepat walaupun sudah ada nasnya. Tepat
yang lahir, batin pula yang tidak kena. Contohnya kita belajar ilmu shalat.
Dari segi rukuk, sujud, tepat sebagaimana dalam kitabnya. Tapi yang batin, hati
tidak sujud, hati pula yang tidak rukuk. Inilah yang dikatakan taufiq tidak ada
sebaliknya hanya dapat hidayah saja.
Contoh yang lain, seorang yang belajar
ilmu ekonomi yang selalu memikirkan soal untung dan rugi. Tetapi bila praktikal
tidak selalu begitu. Sebab itu mandor lebih pakar dari enginer. Enginer tahu
menyebut dari segi istilah saja sesuatu ‘barang’. Tetapi seorang mandor
istilahnya tidak tahu menyebutnya tapi dialah yang pakar mengoperasikannya.
Jadi teori dengan amal tidak selaras
walaupun dari segi ilmunya sudah nampak tepat. Tetapi bila buat tidak tepat.
Itulah yang menunjukkan selain Allah tidak memberi bekas. Oleh itu mesti selalu
berdoa kepada Allah agar dikaruniakan hidayah dan taufiq. Bila Allah berikan
hidayah dan taufiq, semua apa yang dibuatnya akan tepat.
Begitulah teori ilmiahnya, 8 syarat yang
ditempuh oleh seseorang itu agar ia menjadi orang soleh atau menjadi orang yang
bertaqwa. Bila kita menjadi orang yang bertaqwa barulah kita akan dapat
ganjaran dari Allah dunia dan Akhirat. Jadi sebelum kita menjadi orang yang
bertaqwa selagi itulah Allah tidak akan bantu dan bela kita serta tiada jaminan
daripada Allah SWT.